Selasa, 07 Mei 2013

Aku, Kamu, dan Senja


Kita duduk bersama, sore itu. Menikmati senja kelabu yang menghiasi langit, kita saling diam. Menatap langit, menatap deru ombak, menghirup udara pantai. Tanpa kata, tanpa gerak. Ya kita saat itu dalam kondisi yang sama, sama-sama menjadi korban penghianatan. Namun, yang saya tahu dalam kondisi itu kita masih bisa senyum, ya mungkin deburan ombak dan siluet senja itu lah yang membuat kita merasa nyaman.

Pelan-pelan kulihat rona mukamu yang memerah, entah karena apa juga aku kurang paham. “Kita aneh ya, koq mau-maunya kita digitukan”.  aku Cuma bisa membalas kata-katamu dengan senyum. Hal itu menurutku cukup. Aku juga ngga habis pikir kenapa bisa-bisanya aku menitipkan perasaan ini pada seseorang yang baru aku kenal dua minggu saja. Ya dua minggu, itu pun dua minggu yang ngga penuh. Pertemuan yang tak sengaja, saat aku menjadi undangan pada acara UKM nya.

Pelan-pelan, ku coba menatap lensa matamu, melihat kedalam, mencoba membaca apa yang tersimpan di dalam tempurung otakmu. “Hai, kamu kenapa mas, hayoo. Kamu melihatku ngga seperti biasanya Mas”. Dia berkata sambil senyum, senyum yang manis menurutku. Ku alihkan pandanganku ke arah bukit menjulang yang terletak agak di pinggiran pantai. Mencoba menghapus memori kelabu tentang aku dan dia. “Jangan bilang mas lagi galo, jauh-jauh loh Mas kita datang ke pantai ini, sayang kalo Mas cuma bisa menghabiskannya dengan galau yang ngga jelas”. Sejenak aku memikirkan kata-kata yang keluar dari mulut mungilnya. Ada benarnya pula. Kenapa aku mesti galau seperti ini. 

Sore itu aku memang lagi galau sebenarnya, namun aku ngga berniat untuk menunjukkan kegalauan ini pada nya, seseorang yang deket denganku akhir ini akibat sebuah persamaan nasib. Kita berdua sebagai korban, korban penghiatan. “Mas, jangan galau lah. Ntar adek ikutan galau juga, kan ngga asyik juga, Ayolah mas,, puk puk. “ Rengeknya manja. Kulihat, mukanya lucu banget waktu berusaha menhgiburku. “Santai saja adek, mas ngga galau, beneran koq, mas berusaha masuk aja, menikmati suasana senja ini, lihat itu, mataharinya sudah mau tenggelam, cantik loh, kayak kamu”. Ha ha ha. Ku lirik dia agak sebel juga dengan kata-kata terakhirku. “Maaaaaaaaass, jangan gombal deh, tak jitag loh ntar, mau adek jitag.! Ha.!” Ucapnya sambil melotot ke arahku. “Ups,  kebonya udah mau ngamuk, wah mendingan mas kabur aja, hehehe, daripada kena seruduk”. Aku goda dia akhirnya, dan ternyata hal itu cukup menghiburku. Melihat senymnya sore itu, sangat serasi dengan keindahan senja yang sudah mau beranjak menghilang. “Awas kamu mas, tak jitag beneran, mana-mana kepalanya yang mau dijitag, ayo mana, eh jangan lari”. Dia berusaha mengejarku, mengitari pinggiran pantai bama ini. “udah-udah, ngga usah lari, ya udah, ni jitag aja deh, jangan kenceng-kenceng tapi ya”. Ketika dia mau menjitag, aku tangkap tangannya, dan aku tarik dia ke pantai. “Ayok, ini udah sore, waktunya mas mandiin kebo”. Dia berusaha berontak, lucu. Akhirnya aku tak tega juga.

“Udah-udah, ngga boleh terlalu kalo becanda, peace”. Aku ulurkan jari kelingking sebagai tanda damai. “Ngga mau damai, sama kamu, mas kambing”. Dia melengos. Akhirnya dengan sedikit candaan dan kata-kata manis dia mau berdamai. “Ok, mulai sore ini mas janji sama adek, mas ngga akan galau, ngga akan memikirkan dia lagi, ngga akan males mandi, ngga akan godain adek lagi, gimana udah cukup kan?”. Tanyaku padanya. “Belum mas, mas loh sambil cengengesan gitu bilangnya, ngga meyakinkan banget, apaan coba, komitmen itu ngga boleh diucapin sambil becanda mas, mesti serius, tatap mata adek mas, berani ha!”. Ku palingkan wajahku sebentar ke arah mentari senja, sudah hampir tenggelam keseluruhan ternyata, ku lihat bukit pasir yang sekarang kelihatan lebih tegap. Aku tarik nafas panjang, semoga kegalauan ini bisa hilang, mengikuti senja yang mulai tenggelam. Akhirnya dengan mantap, kutatap mata indah adek ku, dan dia sepertinya kaget melihat pandangan tajamku. Ada seberkas rasa yang ngga bisa aku ungkapin ketika kita saling berpandangan, saling melihat kedalam, melalui mata, melihat kesungguhan, membaca pikiran masing-masing. Dan akhirnya dia yang tidak bisa meneruskan pandangannya, dia menunduk, kulihat sekilas, mukanya merona, mungkin dia juga bingung dengan apa yang aku lakuin padanya. “Mas sayang kamu, adek”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar