Kita duduk bersama, sore itu. Menikmati senja
kelabu yang menghiasi langit, kita saling diam. Menatap langit, menatap deru
ombak, menghirup udara pantai. Tanpa kata, tanpa gerak. Ya kita saat itu dalam
kondisi yang sama, sama-sama menjadi korban penghianatan. Namun, yang saya tahu
dalam kondisi itu kita masih bisa senyum, ya mungkin deburan ombak dan siluet
senja itu lah yang membuat kita merasa nyaman.
Pelan-pelan kulihat rona mukamu yang memerah,
entah karena apa juga aku kurang paham. “Kita aneh ya, koq mau-maunya kita
digitukan”. aku Cuma bisa membalas
kata-katamu dengan senyum. Hal itu menurutku cukup. Aku juga ngga habis pikir
kenapa bisa-bisanya aku menitipkan perasaan ini pada seseorang yang baru aku
kenal dua minggu saja. Ya dua minggu, itu pun dua minggu yang ngga penuh.
Pertemuan yang tak sengaja, saat aku menjadi undangan pada acara UKM nya.
Pelan-pelan, ku coba menatap lensa matamu,
melihat kedalam, mencoba membaca apa yang tersimpan di dalam tempurung otakmu.
“Hai, kamu kenapa mas, hayoo. Kamu melihatku ngga seperti biasanya Mas”. Dia
berkata sambil senyum, senyum yang manis menurutku. Ku alihkan pandanganku ke
arah bukit menjulang yang terletak agak di pinggiran pantai. Mencoba menghapus
memori kelabu tentang aku dan dia. “Jangan bilang mas lagi galo, jauh-jauh loh
Mas kita datang ke pantai ini, sayang kalo Mas cuma bisa menghabiskannya dengan
galau yang ngga jelas”. Sejenak aku memikirkan kata-kata yang keluar dari mulut
mungilnya. Ada benarnya pula. Kenapa aku mesti galau seperti ini.
Sore itu aku memang lagi galau sebenarnya,
namun aku ngga berniat untuk menunjukkan kegalauan ini pada nya, seseorang yang
deket denganku akhir ini akibat sebuah persamaan nasib. Kita berdua sebagai
korban, korban penghiatan. “Mas, jangan galau lah. Ntar adek ikutan galau juga,
kan ngga asyik juga, Ayolah mas,, puk puk. “ Rengeknya manja. Kulihat, mukanya
lucu banget waktu berusaha menhgiburku. “Santai saja adek, mas ngga galau,
beneran koq, mas berusaha masuk aja, menikmati suasana senja ini, lihat itu,
mataharinya sudah mau tenggelam, cantik loh, kayak kamu”. Ha ha ha. Ku lirik
dia agak sebel juga dengan kata-kata terakhirku. “Maaaaaaaaass, jangan gombal
deh, tak jitag loh ntar, mau adek jitag.! Ha.!” Ucapnya sambil melotot ke
arahku. “Ups, kebonya udah mau ngamuk,
wah mendingan mas kabur aja, hehehe, daripada kena seruduk”. Aku goda dia
akhirnya, dan ternyata hal itu cukup menghiburku. Melihat senymnya sore itu,
sangat serasi dengan keindahan senja yang sudah mau beranjak menghilang. “Awas
kamu mas, tak jitag beneran, mana-mana kepalanya yang mau dijitag, ayo mana, eh
jangan lari”. Dia berusaha mengejarku, mengitari pinggiran pantai bama ini.
“udah-udah, ngga usah lari, ya udah, ni jitag aja deh, jangan kenceng-kenceng
tapi ya”. Ketika dia mau menjitag, aku tangkap tangannya, dan aku tarik dia ke
pantai. “Ayok, ini udah sore, waktunya mas mandiin kebo”. Dia berusaha
berontak, lucu. Akhirnya aku tak tega juga.
“Udah-udah, ngga boleh terlalu kalo becanda,
peace”. Aku ulurkan jari kelingking sebagai tanda damai. “Ngga mau damai, sama
kamu, mas kambing”. Dia melengos. Akhirnya dengan sedikit candaan dan kata-kata
manis dia mau berdamai. “Ok, mulai sore ini mas janji sama adek, mas ngga akan
galau, ngga akan memikirkan dia lagi, ngga akan males mandi, ngga akan godain
adek lagi, gimana udah cukup kan?”. Tanyaku padanya. “Belum mas, mas loh sambil
cengengesan gitu bilangnya, ngga meyakinkan banget, apaan coba, komitmen itu
ngga boleh diucapin sambil becanda mas, mesti serius, tatap mata adek mas, berani
ha!”. Ku palingkan wajahku sebentar ke arah mentari senja, sudah hampir
tenggelam keseluruhan ternyata, ku lihat bukit pasir yang sekarang kelihatan
lebih tegap. Aku tarik nafas panjang, semoga kegalauan ini bisa hilang,
mengikuti senja yang mulai tenggelam. Akhirnya dengan mantap, kutatap mata
indah adek ku, dan dia sepertinya kaget melihat pandangan tajamku. Ada seberkas
rasa yang ngga bisa aku ungkapin ketika kita saling berpandangan, saling
melihat kedalam, melalui mata, melihat kesungguhan, membaca pikiran
masing-masing. Dan akhirnya dia yang tidak bisa meneruskan pandangannya, dia
menunduk, kulihat sekilas, mukanya merona, mungkin dia juga bingung dengan apa
yang aku lakuin padanya. “Mas sayang kamu, adek”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar